Pada bahan materi tentang
lanskap hutan dan implikasinya pada penduduk lokal contoh kasus mengambil dari
kehidupan orang rimba di wilayah selatan Sumatra. Orang rimba yang terbiasa
dari masa leluhurnya hidup di hutan sebagai pemburu dan peramu pada era Orde
Baru harus menghadapi perubahan berupa privatisasi lahan oleh swasta atas izin
pemerintah. Hutan tidak lagi bebas diakses oleh orang rimba karena sudah
menjadi milik negara dan dikelola oleh swasta. Prasetyo (2016) menjelaskan
bahwa orang rimba mempunyai resistensi dalam menghadapi perubahan ini.
Resistensi itu disebut tacit resistance,
yaitu perlawanan secara diam-diam.
Perlawanan secara diam-diam tersebut dapat berupa
pencurian sawit, pencurian tanaman dan makanan dari desa, dan memblokir jalan.
Selain masalah perlawanan, dampak dari deforestasi hutan juga berbeda antara
orang rimba dengan orang desa (Malays). Orang rimba menganggap bahwa hutan
adalah miliknya sedangkan orang desa menentang pendapat orang rimba, menurut
orang desa hutan tidak dimiliki oleh siapapun dan pemerintah bersama swasta
berhak untuk mengolahnya. Perbedaan pendapat ini terjadi karena bagi orang
rimba, hutan adalah tempat satu-satunya untuk mencari makan dan berbudaya
sedangkan tidak demikian dengan orang desa yang pandangannya cenderung mirip
dengan swasta dan pemerintah yang menganggap bahwa hutan harus diolah supaya
menghasilkan keuntungan atau profit. Perbedaan wilayah tempat tinggal
menyebabkan perbedaan kebudayaan dan perspektif, bahkan pertentangan.
Dalam menengahi pertentangan untuk
mengurangi konflik, pemerintah memberikan berbagai kebijakan untuk orang rimba
berupa perumahan untuk tinggal menetap. Namun tinggal menetap juga bukan solusi
yang tepat karena orang rimba mendapat berbagai stigma yang negatif dari orang
desa, seperti pencuri, keras kepala, bodoh, dsb. Meski begitu, usaha ini harus
tetap dilakukan, perubahan orang rimba menuju seperti orang desa lainnya
membutuhkan waktu dan strategi yang mencukupi.